Disusun Oleh
Kelompok 2
Nama :
Ahmad Fajri Dewantara
Husnaeni. S
Mahendra Asmara
Irwandi
Kelas :
1 TKJ 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur
harus senantiasa Anda panjatkan ke hadiran Tuhan atas limpahan rahmat-Nya
kepada kita semua. Rasa syukur itu dapat Anda wujudkan dengan cara memelihara
lingkungan dan mengasah akal budi untuk memanfaatkan rasa syukur itu harus
senantiasa Anda wujudkan dengan rajin belajar dan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan cara itu, Anda akan menjadi generasi bangsa yang tangguh
dan berbobot serta pintar.
Segala usaha
telah kami lakukan untuk terbitnya Karya Ilmiah ini. Namun, dalam usaha
maksimal itu kami menyadari tentu masih terdapat kekurangan. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan karya Ilmiah
ini.
Pengasuh
A.
Latar Belakang
Pada
saat ini istilah budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi
perusahaan, bahkan beberapa perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya
organisasi mereka di tempat - tempat yang menarik perhatian.
Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat para karyawan
melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang sejak awal tahun 1980 an. Konsep budaya organisasi diadopsi
dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin ilmu antropologi
(Sobirin, 2007:128-129).
Budaya
organisasi menurut Schein dalam
Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok
orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi
tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan
dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar
tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya
dengan persoalan-persoalan organisasi.
B.
Inti Pembahasan
v Unsur-unsur Budaya Organisasi
Jocano dalam Sobirin (2007:152-153) menyatakan
bahwa budaya organisasi terdiri dari unsur utama, yakni yang bersifat
idealistik dan yang bersifat perilaku atau behavioral. Unsur budaya organisasi
idealistik merupakan ideologi organisasi yang tidak mudah berubah meskipun di
sisi lain organisasi harus berubah untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Ideologi ini bersifat terselubung, tidak nampak di permukaan dan hanya
orang-orang tertentu saja yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan
mengapa organisasi tersebut didirikan.
Unsur
behavioral memiliki sifat kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku
sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti disain arsitektur
organisasi. Bagi orang luar organisasi, unsur ini sering dianggap sebagai
representasi dari budaya sebuah organisasi karena lebih mudah diamati, dipahami
dan diinterpretasikan meskipun seringkali interpretasi antara orang luar dan
anggota organisasi berbeda. Budaya organisasi lebih baik dipahami berdasarkan
pengamatan terhadap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para
anggota organisasi.
Bagian
luar organisasi tersebut oleh Schein dalam Sobirin (2007:158) disebut sebagai
artefak. Artefak bisa berupa bentuk arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara
berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh
orang luar organisasi. Dalam perbankan misalnya, kita bisa melihat bahwa mereka
berpakaian sangat formal, dengan perkantoran yang biasanya tertata dengan rapi,
bersih dan modern. Perilaku karyawan bank juga terlihat ramah tetapi formal dan
tegas, dengan moto mereka yang biasanya terpasang dengan indah di belakang
pegawai-pegawai yang melayani para nasabahya. Misalnya saja bank Mandiri
memiliki slogan “Prosper with us” atau Bank BRI dengan slogannya, “Melayani
dengan Hati”.
Sebenarnya
antara ideologi dan perilaku behavioral merupakan bagian yang tidak bisa saling
terpisahkan. Digambarkan sebagai suatu yang berlapis-lapis seperti bawang,
bagian yang kelihatan, bisanya paling mudah untuk diubah. Sehingga tidak
mengherankan bahwa kadang-kadang visi dan misi sudah diubah tetapi unsur-unsur
perilaku lainnya belum berubah. Misalnya saja berkaitan pernyataan visi dan misi organisasi. Hampir
setiap lembaga pada saat ini memiliki apa yang disebut dengan visi dan misi
organisasi yang biasanya tertulis di tempat-tempat strategis di kantor mereka.
Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian antara visi dan misi tersebut dengan
perilaku para anggota organisasi. Karena kalau tidak terjadi keserasian, pasti
akan terlihat lucu. Misalnya sebuah pertokoan yang memiliki slogan “Pelanggan
adalah Raja” tetapi pada saat tempat parkir penuh, ternyata ada space
parkir strategis yang kosong namun ada
tulisannya “khusus untuk pimpinan”.
v
Bagaimana
Budaya Organisasi Terbentuk
Robbins (2003:729) menyatakan bahwa proses penciptaan budaya
organisasi terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya memperkerjakan
dan mempertahankan karyawan yang memiliki pola pikir sama dan sependapat dengan
cara-cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan
mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan
mereka. Bila organisasi berhasil, maka visi pendiri menjadi terlihat sebagai
penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi
tertanam ke dalam budaya organisasi.
Robbins
(2003:724) membedakan budaya yang kuat dan budaya yang lemah. Budaya yang kuat
mempunyai dampak yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung
terkait dengan pengutangan turn-over karyawan. Dalam budaya yang kuat,
nilai inti organisasi dipegang secara mendalam dan dianut bersama secara
meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar
komitmen mereka pada nilai-nilai tersebut, maka makin kuat budaya tersebut.
Budaya yang kuat juga memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan
anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi. Kebulatan maksud
tersebut selanjutnya membina keakraban, kesetiaan, dan komitmen organisasi.
v Bagaimana Pemimpin Membentuk Budaya
Brown
(1998:743) menyatakan bahwa para pemimpin menyampaikan budaya melalui apa yang
mereka katakan dan apa yang mereka lakukan. Schein dalam Yukl (1998:300-301)
mengemukakan peranan pemimpin dalam budaya organisasi, dimana para pemimpin
mempunyai potensi yang paling besar dalam menanamkan budaya dan memperkuat
aspek-aspek budaya dengan mekanisme sebagai berikut :
1. Perhatian (attention)
Perhatian
para pemimpin berarti para pemimpin di dalam menjalankan kepemimpinannya akan
mengkomunikasikan prioritas-prioritas, nilai-nilai, perhatian mereka dengan
cara menanyakan, memberi pendapat, memuji, dan menyampaikan kritik. Pemimpin
yang memarahi seorang bawahan karena tidak mengetahui masalah yang terjadi di
unit kerjanya, misalnya, akan memiliki efek yang kuat dalam mengkomunikasikan
nilai-nilai dan perhatian. Pemimpin yang tidak menanggapi sesuatu maka hal ini
menyampaikan pesan bahwa hal itu tidak penting. Sebagai contoh, restoran cepat
saji McDonald dikenal kebersihannya karena secara berulang-ulang pendiri
perusahaan menceritakan bagaimana dia mengejar-ngejar lalat untuk menjaga agar
para pelanggan yang sedang menikmati hidangannya tidak terganggu oleh lalat
tersebut. Cerita ini diterjemahkan para pegawai bahwa perusahaan sangat peduli
pada kebersihan dan peduli kepada pelanggannya.
2. Reaksi terhadap Krisis
Reaksi
pemimpin dalam menghadapi krisis, merupakan potensi bagi para pegawai untuk
mempelajari nilai-nilai dan asumsi-asumsi. Misalnya perusahaan yang sedang
mengalami kesulitan keuangan cukup serius tetapi menghindari pemberhentian
pegawai (PHK) dan membuat kebijakan untuk membuat para pegawai bekerja dengan
waktu lebih pendek dan dengan demikian menerima pemotongan gaji. Pemimpin
tersebut mengkomunikasikan dengan kuat bahwa ia mempertahankan pekerjaan para
pegawai, dan berdasarkan perilakunya tersebut para pegawai meyakini bahwa
pemimpinnya menjunjung tinggi nilai kebersamaan.
3. Pemodelan Peran
Para
pemimpin mengkomunikasikan nilai-nilai dan harapan-harapan mereka melalui
tindakan mereka sendiri. Hal tersebut khususnya tindakan-tindakan yang
memperlihatkan kesetiaan istimewa, pengorbanan diri, dan pelayanan yang
melebihi apa yang ditugaskan. Seorang pemimpin yang membuat sebuah kebijakan
atau prosedur tetapi tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hal
tersebut maka dalam hal ini pemimpin mengkomunikasikan pesan bahwa hal itu
tidaklah penting atau tidak diperlukan. Seorang pemimpin yang bekerja keras dan
selalu tepat waktu, misalnya, akan mengkomunikasikan bahwa bekerja keras dan
tepat waktu merupakan hal yang penting dan dihargai dalam organisasi.
Sebaliknya pemimpin yang selalu meminta anak buahnya untuk disiplin tetapi dia
sendiri tidak disiplin maka sekeras apapun dia menyerukan kedisiplinan,
karyawan tetap akan menganggap bahwa kedisiplinan bukanlah hal yang penting
dalam organisasi.
4.
Alokasi
Imbalan-imbalan
Kriteria-kriteria
yang digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan imbalan-imbalan seperti
peningkatan upah, atau promosi mengkomunikasikan apa yang dinilai oleh pemimpin
dan organisasi tersebut. Pengakuan formal dan acara-acara seremonial dan pujian
yang tidak formal mengkomunikasikan perhatian serta prioritas seorang pemimpin.
Ketiadaan pengakuan terhadap kontribusi dan keberhasilan mengkomunikasikan
bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang penting. Pemberian simbol-simbol
terhadap status orang-orang tertentu juga mengkomunikasikan tentang apa yang penting dalam perusahaan. Pembedaan
status yang terlalu mencolok tentu saja menunjukkan bahwa organisasi tidak
menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Misalnya saja perusahaan-perusahaan di
Amerika Serikat relatif menggunakan simbol-simbol perbedaan status dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan Jepang. Keistimewaan tersebut misalnya berupa
ruang makan dan tempat parkir khusus.
5. Kriteria Menseleksi dan Memberhentikan
Karyawan
Para
pemimpin dapat mempengaruhi budaya dengan merekrut orang yang memiliki
nilai-nilai, ketrampilan-ketrampilan, atau ciri-ciri tertentu dan mempromosikan
mereka ke posisi-posisi kekuasaan. Para pelamar yang tidak cocok dapat
diskrining dengan prosedur-prosedur formal dan informal, dan ada juga
prosedur-prosedur untuk meningkatkan seleksi diri sendiri, seperti memberi
kepada pelamar informasi yang realistis tentang kriteria dan persyaratan bagi
keberhasilan dalam organisasi. Kriteria serta prosedur-prosedur yang digunakan
untuk mengeluarkan atau memberhentikan para anggota dari sebuah organisasi
mengkomunikasikan juga nilai-nilai serta perhatian dari pemimpinnya.
C.
Kepemimpinan
dan Budaya Etis Organisasi
Apakah
sebenarnya pemimpin? Leman (2008:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni,
kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mempangaruhi dan
menggerakkan orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Peran
kepemimpinan dalam organisasi sangat esensial, dan kepemimpinan sudah menjadi
kajian sejak lama. Secara tradisional telah dikenal konsep-konsep kepemimpinan
seperti untuk suku Jawa serat Rama yang memuat Hastabrata dan
Serat Suryaraja, Lontara Lagaligo untuk suku Bugis Makassar, Kitab Puspakerma
bagi suku Sasak di Lombok, Adab Fata-A untuk suku Melayu. Bagi suku-suku yang
tidak mengenal tulisan seperti suku Dayak di Kalimantan dan suku Baliem di
Irian, biasanya pewarisan nilai-nilai budaya dilakukan secara lisan oleh ketua
adat secara turun temurun.
Budaya
etis organisasi mendapat perhatian yang semakin besar, terutama setelah
terungkapnya budaya tidak etis Enron Corp. yang membawa kebangkrutan serta
kepailitan besar di AS pada akhir tahun 2001. Budaya tidak etis Enron Corp.
tersebut berupa penekanan yang berlebihan terhadap pertumbuhan laba perusahaan,
juga penekanan imbalan kepada karyawan yang semata-mata berupa bonus uang.
Bahkan salah seorang CEO-nya, Jeff Skilling, mengatakan bahwa segala sesuatu
dapat diselesaikan dengan uang di Enron. Termasuk loyalitas pun bisa dibeli
dengan uang. Oleh karena itu berkaitan dengan etika, Robbins (2003:740)
memberikan saran untuk menciptakan budaya yang etis dengan cara sebagai berikut
:
a)
Menjadi
model yang kelihatan; karena karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak
sebagai tolok ukur merancang perilaku yang tepat. Bila manajemen senior
terlihat suka mengambil perilaku atau cara-cara yang etis, maka hal ini memberikan
kesan yang kuat bahwa kaidah etis diharapkan untuk diikuti karyawan.
b)
Komunikasikan
harapan etis; karena ambiguitas etis bisa diminimalisir oleh penyebaran kode
etik organisasi. Kode etik tersebut harus menetapkan nilai-nilai utama
organisasi dan kaidah etis yang diharapkan untuk diikuti karyawan.
c)
Berikanlah
pelatihan etis; dalam bentuk lokakarya, seminar, dan program-progam pelatihan
etis. Gunakanlah sesi pelatihan untuk mendorong standar perilaku organisasi,
untuk mengklarifikasi praktik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan juga
untuk mengajukan dilema etis yang mungkin dihadapi oleh para karyawan.
d)
Berikanlah
imbalan terhadap perilaku etis, dan hukuman terhadap perilaku tidak etis.
Penilaian kinerja karyawan haruslah mencakup sarana yang diambil untuk mencapai
sasaran dan hasil, dan juga perilaku etika yang bersangkutan. Tindakan etis,
masuk dalam penilaian positif kinerja sedangkan perilaku tidak etis harus
mendapat hukuman secara kasat mata.
e)
Sediakanlah
mekanisme yang bersifat melindungi karyawan yang melaporkan perilaku tidak etis
tanpa takut ditegur. Sangat penting bagi organisasi untuk mengadakan konselor
etik, obudsmen, atau pejabat etik.
D.
Penutup
Peranan
pemimpin dalam budaya organisasi sangat esensial, para pemimpin mempunyai
potensi yang paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya
organisasi baik melalui perkataan maupun perilakunya. Ada yang berpendapat
lebih ekstrim, bahwa budaya organisasi bersumber dari kepemimpinan dan
pemimpin, karena pemimpinlah yang pada dasarnya memiliki otoritas. Otoritas
bisa dalam bentuk persetujuan, ketidaksetujuan, ataupun penghargaan atas
perilaku anggota organisasi, sehingga akhirnya melembaga dan terbentuk menjadi
budaya organisasi.
Daftar Pustaka :
Brown, R. 1998. Organizational Culture. Prentice
Hall Inc, Toronto.
Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior. Prentice
Hall. England.
Sobirin, Akhmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna,
dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah
Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta.
Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi
Bahasa Indonesia). Prenhallindo. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar